Sabtu, 14 Juli 2012

Fenomena Geologis Tulungagung

DESKRIPSI FENOMENA GEOLOGIS

KAWASAN TULUNGAGUNG-TRENGGALEK SELATAN


A.    Pendahuluan
Pembahasan mengenai fenomena geologis di suatu daerah pada dasarnya identik dengan pembahasan mengenai proses geologi yang terjadi di daerah bersangkutan. Proses geologi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu proses endogen dan proses eksogen. Kedua proses tersebut terjadi secara bersamaan dan antara proses yang satu dengan yang lain sering sulit untuk dipisahkan.
Fenomena geologis kawasan Tulungagung Selatan yang ada sekarang ini merupakan hasil bentukan proses geologi yang telah berlangsung sejak jutaan tahun yang silam. Menurut Bemmelen ( 1946 ) dan Marks proses geologi Mintakat Jawa bagian selatan termasuk kawasan Tulungagung Selatan dan Trenggalek secara ringkas dapat dideskripsikan sebagai berikut.
Pada awal Paleogen bersama – sama dengan Sumatera dan Kalimantan Pulau Jawa masih merupakan suatu daratan dengan Benua Asia yang disebut dengan Tanah Sunda. Pada saat itu di  bagian selatan Jawa mulai muncul sederetan pegunungan.
Pada Eosen terjadi perubahan yang cukup berarti, yaitu Pulau Jawa yang semula secara keseluruhan berupa daratan, pada saat ini bagian utaranya tergenang oleh air laut dan membentuk cekungan geosinklin. Pada saat yang sama, bagian selatan Pulau Jawa justru terangkat dan membentuk geantiklin yang disebut dengan geantiklin Jawa Tenggara.
Pada kala berikutnya, yaitu Oligosen hampir seluruh Pulau Jawa terangkat menjadi geantiklin yang disebut geantiklin Jawa. Fenomena baru yang ada di Pulau Jawa pada saat ini adalah munculnya beberapa gunung api di bagian selatan pulau ini.
Pulau Jawa yang semula merupakan geantiklin berangsur – angsur mengalami penurunan lagi, sehingga pada Miosen Bawah terjadinya genang laut makin meluas. Gunung api yang bermunculan di bagian selatan membentuk pulau – pulau gunung api. Hanya di sepanjang pulau – pulau tersebut secara setempat – setempat tidak dijumpai genang laut. Pada pulau – pulau tersebut terdapat endapan breksi vulakanik dan disekitarnya secara berganti – berganti  terjadi pengendapan batuan – batuan vulkanik dan endapan – endapan laut. Semakin jauh dari pantai terbentuk endapan gamping koral dan gamping foraminifera.
Pada Miosen Tengah di sepanjang selatan Pulau Jawa pembentukan gamping koral terus berkembang dan diselingi dengan batuan vulkanik. Kemudian pada Miosen Atas terjadi pengangkatan pada seluruh lengkung Sunda – Bali dan bagian selatan Jawa termasuk kawasan Tulungagung Selatan terangkat menjadi pegunungan. Keberadaan pegunungan selatan Jawa ini tetap bertahan sampai sekarang dengan batuan penyusun yang didominasi oleh batuan kapur yang dibeberapa tempat diselingi oleh munculnya “vulcanic neck” atau bentuk intrusi yang lain.
Akhirnya pada Pliosen terjadi peningkatan kegiatan vulkanik, tetapi kegiatan vulkanik pada saat ini telah bergeser dari bagian selatan Jawa ke jalur di sebelah utaranya, yaitu seperti jalur gunung api yang sekarang ada di Pulau Jawa.
Dari uraian singkat mengenai sejarah geologi tersebut di atas dapat diketahui bahwa proses geologi yang menonjol sehingga mewarnai secara dominan fenomena geologi dikawasan Tulungagung selatan adalah berupa munculnya gunung api (vulkanisme), tumbunya koral dan foraminifera yang membentuk endapan sedimen organik yang berupa batuan kapur dengan endapan yang sangat tebal (sedimentasi) dan pengangkatan  kawasan tersebut hingga membentuk pegunungan (tektonik). Bersama dengan aktivitas – aktivitas tersebut diatas proses eksogen juga melakukan aktivitasnya, bahkan aktivitas proses ini terus berlangsung hingga saat ini.

B.     Vulkanisme
Kegiatan vulkanisme yang ada di daerah ini sekarang tinggal bekas – bekasnya saja, yaitu berupa batuan beku hasil pembekuan magma yang ada pada lubang diatrema (sumbat lava) yang disebut juga dengan vulkanic neck  maupun dalam bentuk intrusi yang tersingkap di beberapa tempat.
Keberadaan batuan beku di kawasan ini merupakan fenomena yang sangat menarik. Hal ini disebabkan karena batuan tersebut berada ditengah – tengah daerah yang sebagian besar tersusun dari batuan kapur. Batuan beku yang berupa  vulkanic neck yang ada di kawasan ini secara keseluruhan merupakan batuan masif yang secara morfologis muncul lebih tinggi daripada daerah sekitarnya dengan dinding – dinding yang sangat terjal. Batuan tersebut membetuk struktur aliran dengan arah tegak lurus. Hal ini sebagai bukti bahwa batuan beku yang ada di kawasan ini terjadi dari pembekuan magma yang terperangkap dalam lubang diatrema dari vulkan – vulkan aktif yang pernah ada di kawasan ini.
Bentukan intrusi  juga  tersingkap di beberapa tempat, salah satunya terdapat di salah satu sisi pantai Pasir putih  yang terletak di teluk Prigi Kecamatan Watulimo. Intrusi ini tersingkap karena adanya abrasi gelombang laut.
Ditinjau dari sejarah geologinya seperti yang telah dikemukakan di atas, vulkan – vulkan di kawasan ini muncul pada kala Oligosen. Pada saat itu kawasan tersebut masih berupa laut, sehingga vulkan – vulkan tersebut membentuk pulau – pulau gunung api. Selanjutnya  pada Miosen bawah koral dan foraminifera tumbuh di sekitar pulau – pulau tersebut dan membentuk sedimen organik yang berupa batuan kapur. Pada Miosen Atas, daerah ini mulai terangkat sehingga membentuk sedimen organik yang berupa batuan kapur.
Pada Miosen Atas, daerah ini mulai terangkat sehingga membentuk pegunungan seperti saat ini. Dari sejarah geologi tersebut “keanehan” keberadaan batuan beku seperti tersebut di atas dapat dijelaskan. Jenis batuan beku di kawasan ini adalah andesit dan tersebar pada beberapa tempat antara lain berupa Gunung Sikambe dengan ketinggian 838 meter dan Gunung Suwur dengan ketinggian 855 meter. Kedua gunung tersebut terdapat di Desa Watuagung Kecamatan Watulimo yang tidak lain sebenarnya adalah vulcanic neck. Contoh lain yang menunjukkan kenampakan cukup bagus adalah Gunung Tanggul (660 meter) yang terdapat di Desa Bandung Kecamatan Besuki.
Studi secara mendalam dari batuan beku di kawasan ini dapat dilakukan pada Gunung Sikambe yang terletak di Desa Watuagung. Studi di sini dapat dilakukan antara lain mengenai analisis susunan mineral, tekstur dan struktur batuannya serta proses-proses geologis lain yang telah dan sedang berpengaruh terhadap batuan tersebut.

C.    Tektonik.
Aktivitas tektonik di Pulau Jawa bagian selatan termasuk kawasan Tulungagung dan Trenggalek selatan sudah berlangsung sejak awal Paleogen, yaitu dengan munculnya sederetan pegunungan. Pengangkatan terus berlangsung sehingga pada kala eosen daerah tersebut telah berkembang menjadi geantiklin ini disertai dengan munculnya sederetan gunung api. Selanjutnya pada Miosen terjadi penurunan hingga daerah ini mengalami genang laut sedang gunung api yang ada muncul sebagai pulau-pulau gunung api dan disekitar pulau-pulau tersebut tumbuh koral dan foraminifera yang membentuk endapan kapur. Peristiwa terakhir yang secara tektonik memberikan warna dominan pada kawasan Tulungagung selatan terjadi pada Miosen atas. Pda saat itu terjadi pengangkatan daerah tersebut dan membentuk pegunungan selatan seperti yang ada saat ini.
Berdasarkan kemiringan lapisan batuan (dip) yang ada di daerah ini dapat diketahui bahwa pengangkatan yang terjadi di kawasan ini berlangsung dengan kekuatan yang tidak sama. Dip yang mengarah ke Samudera Hindia menunjukkan bahwa pengangkatan di bagian utara kawasan ini lebih kuat daripada bagian selatan. Lapisan batuan kapur di kawasan ini banyak yang telah tersingkap sehingga studi mengenai stratigrafi dapat dilakukan dengan baik namun pengangkatan yang semakin kuat di bagian utara tidak bisa terus berlanjut, karena di bagian utara dari kawasan ini justru terjadi patahan yang membentuk gawir (escarpment) yang cukup terjal. Gawir yang ada di kawasan ini sebenarnya merupakan bagian dari gawir yang berskala lebih luas yang membentang dari Jawa Tengah bagian selatan hingga bagian selatan Jawa Timur bagian timur.
Untuk kawasan Tulungagung selatan gawir tersebut dapat diikuti sejak dari sebelah selatan Desa Besole Kecamatan Campurdarat, sebelah selatan Desa Badung Kecamatan Besuki sampai di Desa Nglampir Kecamatan Watulimo. Gawir yang ada di kawasan tersebut memberikan gambaran yang sangat jelas yang berupa singkapan mengenai struktur lapisan- lapisan batuan yang menyusun kawasan ini. Melalui singkapan ini dapat dilakukan studi stratigrafi secara seksama seperti jenis batuan, kemiringan lapisan batuan, arah lapisan batuan, ketebalan lapisan batuan dan lain-lain sehingga proses-proses geologis yang pernah dan sedang berlangsung dapat dianalisis.
Singkapan batuan tidak hanya terdapat di sepanjang gawir saja. Di Pantai Popoh yang berhadapan dengan laut lepas juga terdapat singkapan yang sangat bagus. Ada yang menarik dari singkapan yang ada di tempat ini, yaitu diantara beberapa lapisan batuan kapur tersisip suatu lapisan yang berbentuk lensa tipis yang terdiri dari jenis batuan lain, yaitu terdiri dari batuan pasir. Berdasarkan material penyusunnya, maka kemungkinan batuan ini merupakan hasil aktivitas vulkanik yang ada pada saat koral dan foraminifera mulai tumbuh pada Miosen Bawah. Sebagai objek studi mengenai stratigrafi dapat dilaksanakan di sini dengan baik karena tempat ini mudah terjangkau dan lapisan batuannya cukup bervariasi. Singkapan yang ada di sini dibentuk oleh hantaman gelombang (abrasi) dari Samudra Hindia. Singkapan yang terjadi oleh abrasi juga ditemukan di sepanjang bekas pantai klif di Teluk Sidem, namun keberadaannya telah banyak terganggu oleh bangunan pembangkit listrik tenaga air di tempat ini.
Pengamatan terhadap salah satu singkapan batuan yang ada di gawir utara dapat dilakukan dari Desa Nglampir. Dari tempat ini, yaitu dari salah satu bagian ruas jalan raya yang menghubungkan kota Tulungagung – Pantai Prigi, dapat diamati secara jelas singkapan lapisan-lapisan batuan kapur yang ada.
Pada singkapan tersebut dapat diamati ketebalan lapiasan-lapisan, kemiringan lapisan batuan yang bervariasi, bahkan dibeberapa bagian terjadi struktur patahan yang sifatnya lokal. Prosese-proses eksogen terhadap batuan tersebut juga dapat diamati di sini. Dari tempat ini juga dapat diadakan pengamatan secara bagus sekali terhadap dua buah bekas vulkan yang membentuk vulkanic neck  yang sekarang merupakan “menara” batuan beku yang menjulang jauh lebih tinggi daripada tempat-tempat disekitarnya. Kedua bekas vulkan tersebut adalah Gunung Suwur dan Gunung Sikambe.
Dengan mengamati singkapan yang ada di Desa Nglampir, maka dapat di ketahui bahwa secara setmpat-setempat terjadi perbedaan kekuatan pengangkatan, namun secara umum sediment batuan gamping di kawasan Tulungagung/Trenggalek selatan mempunyai dip dengan kecenderungan miring kearah selatan (Samudra Hindia).
Dua aktivitas geologi yang berupa vulkanisme dan tektonik berkaitan erat dengan terdapatnya batuan metamorf di kawasan Tulungagung selatan. Jenis batuan metamorf yang ada di kawasan ini adalah marmer, yaitu merupakan malihan dari batuan kapur.
Mengenai proses terjadinya batuan marmer di daerah ini ada dua kemungkinan yang menyebabkannya, yang pertama adalah adanya aktivitas vulkanisme dan yang kedua adalah karena adanya proses tektonik yang telah berlangsung di daerah ini.
Kemungkinan prosese vulkanik yang menyebabkannya bisa saja terjadi, karena meskipun kegiatan vulkan di kawasan ini pada umumnya muncul lebih dulu dari  terbentuknya endapan batuan kapur, aktivitas vulkanisme yang berupa intrusi di daerah ini sebagai suatu kasus dapat saja muncul setelah pengendapan terjadi. Akibat panas yang ditimbulkan oleh magma yang barada di bawahnya, maka batuan kapur dapat berubah menjadi marmer (metamorfosis sentuh).  Penjelasan ini barulah merupakan suatu hipotesis, karena sampai saat ini intrusi seperti yang diuraikan di atas yang belum dapat dibuktikan keberadaannya.
Di samping belum/ tidak ditemukannya singkapan intrusi sebagai sumber panas terjadinya metamorfosis tersebut, kelemahan dari hipotesis tersebut adalah bahwa batuan marmer yang ada di daerah ini masih mempunyai komposisi mineral yang sama dengan batuan kapur yang ada disekitarnya. Perbedaan antara marmer dan kapur di sini hanya terletak pada strukturnya saja, yaitu lebih padat. Padahal jika benar-benar terjadi melalui metamorfosis sentuh, mestinya komposisi batuannya juga mengalami perubahan.
Kemungkinan yang kedua adalah bahwa terjadinya batuan metamorf  karena adanya tekanan yang tinggi yang berasal dari tenaga tektonik yang dialami oleh batuan kapur yang ada di kawasan ini. Tekanan yang tinggi ini bisa terjadi ketika pada daerah ini berlangsung aktivitas tenaga tektonik yang memberi tekanan besar pada batuan kapur yang ada. Jika kedua kelemahan dalam metamorfosisme sentuh seperti tersebut di atas tidak dapat di perbaiki, maka kemungkinan yang kedua inilah yang dapat digunakan untuk menjelaskan terjadinya batuan metamorf di kawasan ini. Batuan metamorf di kawasan ini tidak tersebar secara meluas, yaitu hanya disekutar Desa Besole.

D.    Pelapukan, Pengikisan dan Pengendapan
Kawasan Tulungagung/Trenggalek selatan terdiri dari pegunungan kapur, hasil bentukan aktivitas vulkanisme tua, dan aluvial bekas rawa dan endapan pasir pantai. Proses eksogen yang terdapat di pegunungan kapur terutama adalah berupa pelapukan kimiawi, yaitu berupa pelarutan. Hal ini terlihat jelas pada permukaan batuan kapur yang ada, yaitu ditandai dengan lubang – lubang sebagai hasil pelarutan. Batuan kapur yang berlubang – lubang ini dinamakan lapies.
Proses pelarutan yang ada di kawasan di kawasan ini tampaknya sudah berlangsung secara intensif. Hal ini ditandai dengan ditemukannya gua yang ukurannya sangat lebar dan panjang, yaitu gua Lowo. Seberapa panjang gua ini sampai sekarang belum terungkap karena masih banyak bagian dari gua tersebut yang sampai sekarang belum terjangkau. Di seberapa bagian, lebar gua ini mencapai 14 meter dengan atap mencapai ketinggian 9 meter.
Beberapa kenampakan khas daerah kapur dapat ditemukan di dalam gua ini yaitu berupa stalaktit, stalagmit, pilar karstdan rock pendant. Proses pembentukan stalaktit dan stalagmit di beberapa bagian gua masih terus berlangsung sehingga merupakan objek studi yang cukup menarik.
Berdasarkan terjadinya, gua Lowo dan juga gua – gua kapur di daerah yang lain sebenarnya merupakan sungai bawah tanah yang terjadi melalui proses yang sangat panjang. Proses terjadinya gua ini diawali oleh proses pelarutan batuan kapur oleh air hujan melalui proses kimiawi.
Pada awalnya proses pelarutan tersebut hanyalah melalui diaklas – diaklas yang banyak terdapat pada lapisan batuan kapur. Pelarutan yang terus berlangsung menyebabkan  diaklas tersebut berkembang menjadi alur – alur yang semakin lama semakin lebar.  Akumulasi aliran air membentuk aliran bawah tanah dan aliran ini akan melarutkan dan mengikis batuan kapur di sepanjang aliran tersebut, sehingga membentuk lubang yang semakin besar. Melalui proses seperti inilah gua-gua di daerah kapur terbentuk. 
Pada gua-gua yang besar, kadang-kadang atapnya runtuh sebagai akibat grafitasi dan kurangnya penyangga. Runtuhan ini berupa lubang yang menghubungkan dunia bawah tanah dengan dunia luar. Inilah proses yang dapat digunakan untuk menjelaskan terjadinya Gua Lowo yang terdapat di Desa Watuagung Kecamatan Watulimo.
Pada dasar Gua Lowo ini terdapat endapan yang berupa material-material batuan yang bentuknya membulat dan tidak hanya terdiri dari batuan kapur saja. Beberapa fragmen batuan ternyata dari jenis batuan beku. Keadaan ini menunjukkan bahwa Gua ini ujungnya lebih jauh dari yang diketahui sekarang. Berdasarkan bekas-bekas ranting yang tersangkut di bebatuan yang ada di dasar dan dinding gua menunjukkan bahwa di bagian ujung gua ada lubang yang menghubungkan gua ini dengan dunia luar. Namun ujung gua  yang dimaksud tidak bisa kita jangkau.
Proses eksogen lain yang dapat di amati di pegunungan kapur adalah berupa aktivitas tumbuh-tumbuhan dengan akar-akarnya yang menyusup pada lubang-lubang batuan atau diaklas. Hal ini menyebabkan terjadinya pelapukan organik. Pelapukan semacam ini terdapat dihampir semua bagian pegunungan kapur. Aktivitas manusia untuk membongkar batuan kapur untuk pembuatan kapur tohor dan penambangan batuan marmer merupakan bentuk proses eksogen yang cukup besar  pengaruhnya.
Pada pantai laut lepas di kawasan Popoh hempasan gelombang Samudera Hindia yang sangat dasyat mengikis pantai tersebut sehingga berkembang sebagai pantai klif. Proses pembentukan pantai klif dapat diamati dengan baik di tempat ini.
Pada sisi pantai yang lain, yaitu pantai Teluk Sidem terjadi pengendapan. Faktor yang mempengaruhi terjadinya pengendapan di teluk Sidem antara lain ada dua yaitu karena bentuk pantai yang berupa teluk dan adanya materi pengendapan yang berasal dari muara parit Agung Tulungagaung Selatan.
Dataran yang cukup luas di sebelah utara pegunungan kapur terbentuk oleh endapan rawa, yaitu rawa Campurdarat. Rawa ini sekarang sudah  dikeringkan, yaitu dengan cara membuat saluran pematus untuk mengalirkan air rawa ke Samudera Hindia. Saluran pematus tersebut dibuat dengan membangun terowongan yang menembus pegunungan kapur selatan. Saluran pematus ini dinamakan Parit Agung atau Saluran Niyama yang bermuara di Teluk Siden pantai Popoh. Pada saat ini dataran endapan rawa Campurdarat dikelola penduduk setempat sebagai sebagai lahan pertanian yang sangat subur.
Sedimen yang terdapat di Teluk Sidem adalah merupakan sedimentasi hasil pengendapan material – material yang dihanyutkan oleh saluran pematus Rawa Campurdarat. Proses pengendapan ini sampai sekarang masih terus berlangsung sehingga daratan pada  teluk tersebut semakin bertambah luas ke arah samudera. Perluasan hasil endapan sedimen ini dapat diketahui karena batas – batas pantai lama yang berupa pantai klif masih dapat diamati secara jelas. Hasil perluasan pengendapan di Teluk Sidem saat ini dikembangkan sebagai perkampungan nelayan dan objek wisata.

Lahan


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Lahan merupakan bagian dari bentang lahan (Lanscape) yang meliputi lingkungan fisik termasuk iklim, topografi / relief, hidrologi tanah dan keadaan vegetasi alami yang semuanya secara potensial akan  berpengaruh terhadap penggunaan lahan. Penggunaan lahan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Solo  seperti  pada umumnya di DAS yang lain secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi: hutan,  tegalan, perkebunan, sawah, pemukiman   dan   penggunaan   lain.   Penetapan   penggunaan   lahan   pada   umumnya didasarkan pada karakteristik lahan dan daya dukung lingkungannya. Bentuk penggunaan lahan yang ada dapat dikaji kembali melalui proses evaluasi sumberdaya lahan, sehingga dapat diketahui potensi  sumberdaya lahan untuk berbagai penggunaannya. Untuk lebih memperluas pola pengelolaan  sumberdaya  lahan diperlukan tehnologi usaha tani yang tidak terlalu terikat dengan pola penggunaan  lahan dan akan lebih parah lagi hasilnya apabila pembangunan pertanian masih melalui pendekatan  sektoral tanpa ada integrasi dalam  perencanaan  maupun  implementasinya.
Agroforestry  adalah  pola  usaha  tani produktif yang tidak saja mengetengahkan kaidah konservasi tetapi juga kaidah ekonomi. Betapa pentingnya masalah konservasi ini perlu diperhatikan apabila mengingat bahwa usaha tani di Indonesia ini ditangani oleh petani kecil apabila ditinjau dari kepemilikan lahan. Pemilikan lahan di DAS Solo seperti halnya di DAS lain rata-rata adalah kecil dan kemungkinan besar akan selalu berkurang dengan selalu bergulirnya waktu. Kesadaran akan perlunya konservasi lahan sebenarnya sudah sejak lama, akan tetapi selalu saja ada kesenjangan antara keinginan para petani pemilik lahan dengan para ahli konservasi tanah karena biasanya adanya keterbatasan biaya dari para petani untuk melaksanakan  perlakuan-perlakuan yang  diperlukan. Hal  ini  disebabkan karena pada pendekatan lama konsentrasi kegiatan konservasi ada pada  pembuatan  bangunan - bangunan teras, saluran-saluran dan bangunan lainnya dan sering dilakukan dengan cara melarang orang bertanam di lahan miring, dll.
Dewasa ini  Young (1997)  dalam  Sabarnurdin  (2002)  menyatakan bahwa ada pendekatan baru konservasi tanah yang disebut land husbandry yang diwujudkan dalam usaha tani dengan pendekatan konservasi. Ciri dari pendekatan ini adalah: